A. Pembangunan Budaya Dan Karakter Bangsa
Fenomena berbagai gejolak dalam masyarakat pada beberapa tahun terakhir ini cukup memprihatinkan, antara lain: munculnya karakter buruk yang ditandai dengan kekerasan dan kekejaman. Bangsa Indonesia yang dikenal ramah, tamah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi pemarah dan suka mencaci. Dalam aspek alam fisik dan alam hayati, juga mengalami proses penurunan kualitasnya. Alam fisik Indonesia dikenal subur dan makmur, mulai bermunculan tanah-tanah kritis, longsor atau tandus ketika kemarau. Dalam aspek alam hayati, telah kehilangan hutan tropis yang semakin tahun semakin cepat berkurangnya. Kekayaan alam hayati yang berasal dari laut yang diambil secara ilegal oleh penjarah dari dalam maupun luar negeri. Dalam aspek manusia, kualitas daya saing Indonesia juga memprehatinkan. Dalam aspek budaya juga semakin memudar kecintaan terhadap kesenian tradisional sebagai warisan budaya bangsa. Fenomena masyarakat dewasa ini semakin menonjolkan kepentingan daerah dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara.
Kondisi di atas tentu perlu segera dicarikan upaya memperbaikinya, karena kita tidak berharap fenomena tersebut berkembang semakin parah. Kita tidak menghendaki kehilangan karakter sebagai bangsa sehingga akan kehilangan atau penurunan kualitas lingkungan dan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu perlu mencermati dengan sungguh-sungguh apa sebenarnya yang menjadi sumber terjadinya berbagai fenomena tersebut. Fenomena yang merugikan ini dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu. Dampak kehidupan masyarakat pasca reformasi yang memprehatinkan ini menurut Dasim (2007) diakibatkan oleh beberapa gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyaraka dewasa ini, yaitu:
Pertama, suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” yang dimainkan Rezim Orde Baru ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya).
Tampaknya semua simbol-simbol yang dinilai ampuh untuk dapat memobilisasi rakyat digunakan oleh kelompok-kelompok kecil ini demi memaksakan kehendak mereka di era reformasi ini. Semua ini terjadi baik disadari maupun tidak oleh para elit yang memang sedang mengidap “myopia politik” yakni hanya berorientasi pada Pemilu bukan pada tujuan jangka panjang. Dengan demikian semua arah moral bangsa praktis dikuasai oleh kelompok kecil yang cenderung bersifat partisan dan primordial (Wirutomo,2001:6). Namun kita masih bisa berharap karena masih melihat adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menampilkan karakter yang baik, misalnya bersifat altruistik, nasionalis, inklusif, universalistik, dan sebagainya. Aspirasi ini sesungguhnya banyak didukung oleh masyarakat luas (silent majority), tetapi gerakan-gerakan sosial yang memperjuangkan nilai-nilai ini masih lemah dan sporadik. Mereka belum bergabung dalam jaringan yang solid dan mampu melakukan gebrakan besar yang berskala nasional, sehingga cenderung tenggelam oleh gerakan yang punya dana.
Kedua, sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya terselubung (socio-cultural animosity). Gejala ini muncul dan semakin menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orde Baru dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas menjadi konflik antar suku, antar umat beragama, kelas sosial, kampung, dan sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dengan kelas bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antar sesama rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (bukan fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi sebuah bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri (self destroying nation).
Ciri lain dari konflik yang terjadi di Indonesia adalah bukan hanya yang bersifat terbuka (manifest conflict) tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah konflik yang tersembunyi (latent conflict) antara berbagai golongan. Socio-cultural animosity adalah suatu kebencian sosial budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya dan perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik terselubung ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh pranata sosial di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik, dan sebagainya).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebencian sosial budaya terselubung ini sangat berhubungan dengan pluralitas negara-bangsa Indonesia. Contoh nyata hancurnya Yugoslavia akibat semakin menipisnya in-group feeling di antara etnis yang ada, sementara katup penyelamat (safety valve institution) untuk mengurai kebencian sosial budaya terselubung tidak bekerja efektif. Namun hal ini bukan faktor penentu, karena banyak masyarakat plural yang lain bisa membangun platform budaya yang mampu menghasilkan kerukunan antar etnis pada derajat yang cukup mantap. Sebagai contoh masyarakat Malaysia dengan konsep pembangunan sosial budayanya telah berhasil menyiptakan civic culture sebagai kesepakatan budaya untuk membangun kerukunan antar kelompok rasial dan agama. Konflik politik sekeras apapun yang terjadi di Malaysia, tidak pernah mengusik kesepakatan ini (Wirutomo,2001:7). Berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia bahwa setiap perbedaan pandangan politik selalu ditarik lagi kepada faktor perbedaan budaya yang paling mendasar (terutama agama). Inilah yang membuat persoalan politik tidak pernah mudah diselesaikan.
Jika menengok pada proses integrasi bangsa Indonesia, persoalannya terletak pada kurangnya mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif) dan lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif). Atas dasar kenyataan demikian maka cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan masa lalu. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis yang memiliki karakter ke-Indonesiaan yang adaptif di era global.
Era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat, terutama teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah dunia seakan-akan menjadi kampung dunia (global village). Dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas negara. Kondisi yang demikian itu berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, dapat pula mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak seluruh masyarakat Indonesia. Fenomena globalisasi telah menantang kekuatan penerapan unsur-unsur karakter bangsa. Kenichi Ohmae (1999) mengatakan bahwa dalam perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti geografis dan politik relatif masih tetap. Namun kehidupan dalam suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi, inovasi, dan industri yang membentuk peradaban modern.
elearning.unesa.ac.id/.../peran-pendidikan-kewarganegaraan-dalam- ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar